Fungsi Akal untuk Mengenali KEbaikan


Manusia berada dalam ruang waktu yang kalau diperhatikan banyak ketidaknyamanan, padahal perjuangan keras terus dilakukan untuk mendapatkan posisi nyaman, tapi sayangnya, lagi-lagi kenyamanan itu sifatnya sementara. Presiden, Raja, pendana menteri, popularitas Uztad dan artis di berbagai media dan berbagai jabatan yang kelihatannya wah, namun ternyata bukan keabadian, mereka harus tunduk dengan hukum mutlak dari Allah SWT. Manusia tak bisa membantah atau melawan hukum-hukum Allah yang menjadi ketetapan, bahwa umur dan jabatan manusia lambat laun sirna. Tentunya yang diharapkan adalah amal kebaikan yang selama ini dilakukan bisa menjadi bekal ke alam akhirat.

Apakah semua manusia percaya akan adanya hidup setelah mati?, bagaimana mereka menyikapi kematian yang selalu disaksikannya?. Bagi orang-orang yang berakal pasti tak akan tinggal diam, ia akan merenunginya dan sembari memohon agar ditunjukkan jalan yang terang itu, agar tidak termasuk orang-orang yang merugi.

Jangankan manusia biasa, seorang yang disebut Ustad atau ulama bisa saja terjerumus yang kalau ditarik benang merahnya adalah karena Ego atau tak mampu menundukkan hawa nafsu, baik hawa nafsu karena ingin menguasai Jemaah, atau hawa nafsu menyerang dengan serangan sengit kepada pihak yang berbeda paham, dan hawa nafsu merasa paling benar dan paling beragama (sok suci atau sok pembela agama), bahkan tak jarang kita saksikan bagaimana seorang ulama bisa memicu konflik, entah mereka berpolitik dengan licik atau karena kepentingan sendiri.

Namun Dengan Maha PengasihNya dan PenyayangNya Allah SWT, manusia dianugerahi seperangkat akal agar bisa menyelamatkan dirinya dari kehancuran akibat ego dan hawa nafsu, ego dan hawa nafsu sejatinya harus tunduk pada akal demi mengantarkan manusia pada kebenaran hakiki.

Mari kita coba memfungsikan akal itu dengan menganalisa kalimat di bawah ini :

Karena Kelapangan Wujud yang dimiliki, seorang arif menyatu dengan seluruh alam semesta dan manusia. Abul Hasan Al-Kharqani (wafat tahun 426 H) pernah berkata :

Apabila jari salah seorang penduduk Turkistan hingga Syam terkena duri, penderitaan itu adalah milikku. Begitu pula, apabila kaki salah seorang penduduk Turkia hingga Syam terbentur batu, maka penderitaannya adalah milikku, kesedihan itu adalah milikku. Aku malah pernah mengatakan, seandainya aku mati sebagai dari mereka sehingga mereka tidak pernah melihat kematian. Oh, seandainya hisab amal seluruh makhluk ditimpakan ke pundakku sehingga mereka tidak perlu lagi dihisab pada hari kiamat. Oh, seandainya siksa seluruh mahkluk ditimpakan kepadaku sehingga mereka tidak pernah melihat siksa dalam api neraka (Tadzkirah Al-Auliyah, Fariduddin Al-Aththar, Jil. 2. hlm. 215-217)

Lalu coba bandingkan perkataan ustad-ustad atau ulama-ulama yang setiap di mimbar atau bahkan di social media selalu saja berkata:

“Mereka sesat, kafir, dan terlaknat, mereka pelaku bid’ah, maka layak baginya neraka jahannam” dengan suara yang agak keras sehingga sepertinya tak ada kaidah keindahan seperti pada bait puisi. Atau perkataan seperti ini :
“Syiah Sesat !!!, halal darahnya, tidak berhak tinggal di Indonesia, tukang laknat sahabat, pencaci istri nabi, tukang mut’ah. Ayo bunuh...bunuh...bunuh...!!!”

Nah, contoh kalimat di atas, manakah yang lebih adem?, mana yang provokasi yang dilandasi kebodohan atau emosional dan manakah kalimat yang berlandaskan karena cinta kasih?. Tentu saja akal dan nurani antum yang fitrah itu tahu perbedaannya.

Barakallah...




0 komentar:

Posting Komentar

Next Posting Lama
Fungsi Akal untuk Mengenali KEbaikan